Terima Kasih Bunda.......
Di dalam rumah selalu berlangsung hal-hal luar biasa yang sering kita lupa. Saya kutip saja salah satu darinya, yakni saat melihat ibu-ibu melayani anak-anaknya. Ibu itu bisa ibu kita sendiri yang melayani kita, anak-anaknya, bisa pula ibu itu adalah istri dari para suami yang tengah melayani anak-anaknya. Dan bisa jadi suami itu adalah saya dan Anda, lelaki yang bersentuhan dengan pengalaman seperti saya.
Ada banyak pelayanan kaum ibu kepada anaknya. Tapi ambillah salah satu satu saja, di meja makan misalnya. Perjamuan di meja makan adalah serangkaian dari mata rantai yang panjang. Bagi seorang ibu tanpa pembantu seperti istri saya misalnya, persiapan menuju meja makan itu malah membutuhkan mata rantai yang lebih panjang lagi.
Ia mulai dari pergi belanja, meracik sendiri, mencuci, merebus, menggoreng, mengaduk, mengulek, menyedu…. Semakin banyak ragam makanan yang disediakan, makin panjang mata rantainya. Padahal yang disebut banyak dan panjang itu, di meja makan ketemunya pendek dan sedikit saja. Ia cuma bisa berupa nasi, sayur, gorengan dan sambal. Tapi betapa lama proses sebuah sambal. Di dalamnya ada cabe yang harus dipotong, diduduki dan di goreng, Ada bawang merah, tomat, terasi dan garam yang harus diramu dan diulek. Untuk mengubas bawah merah pun, seorang istri bisa harus bersimbah air mata. Dan itu baru cukup untuk menghasilkan sambal.
Belum untuk mengoreng lauk tambahan. Giorengan paling sederhana sekalipun, tempe misalnya. Di dalam tempat harus ada bawang putih, ketumbar dan garam yang perlu dihancurkan, dikucuri air dan baru kemudian si tempe dicelup untuk dilempar ke penggorengan. Itu baru tempe. Jika yang digoreng adalah ikan, maka prosedurnya bisa lebih panjang. Si ikan harus dibersihkan seluruh isi perutnya, dikerik sisiknya dan dipotong kalau kebesaran.
Padahal seluruh kesibukan itu baru menghasilkan dua golongan yang belum cukup untuk kelayakan jamuan makan karena baru ada tempe dan sambal. Untuk sayur, yang jenis sederhana, lodeh misalnya, bukan main rumit adonannya. Kelapa harus diparut, diperas santannya. Beragam sayuran harus dicuci, diiris dan diaduk-aduk. Bawang merah harus dikupas
dan digoreng, ada kencur, gula merah. Belum ada jenis keluarga yang menyukai watak penyedap rasa, tapi menolak penyedap rasa instan. Dibutuhkan ramuan alamiah yang rumit untuk menciptakan penyadap rasa jenis ini. Pendek kata, adonan sayur sederhana, membutuhkan kerepotan yang begitu gaduhnya.
Dan jika semuanya sudah siap, bukan berarti si ibu ini bisa langsung makan. Ia butuh meladeni seorang suami dan anak-anaknya lebih dulu. Jika si anak itu masih kecil dan kolokan, ia malah belum mau makan jika belum disuapi. Jadi, untuk sampai di meja makan, perjuangan seorang ibu ini panjang sekali. Lalu kenapa anak-anak, para suami, dan siapa saja dari kita, tidak mengucapkan rasa terimakasih kita secara terbuka kepadanya di saat makan bersama tiba?
Kenapa terhadap pekerjaan yang begitu besarnya, sering kita anggap sebagai soal yang biasa-bisa saja hanya karena ia ibu atau istri kita. Betapa banyak soal-soal berharga yang bertebaran di sekitar kita terlupakan harganya hanya gara-gara kita sudah terbiasa melihatnya. Itulah kenapa kita baru melihat mahalnya sebuah harga ketika ia telah tiada. Dan menganggap mahal segala sesuatu yang sudah tidak tidak ada, bukan cuma terlambat, tapi pasti perbuatan yang sia-sia.
*taken from Serambi
Ada banyak pelayanan kaum ibu kepada anaknya. Tapi ambillah salah satu satu saja, di meja makan misalnya. Perjamuan di meja makan adalah serangkaian dari mata rantai yang panjang. Bagi seorang ibu tanpa pembantu seperti istri saya misalnya, persiapan menuju meja makan itu malah membutuhkan mata rantai yang lebih panjang lagi.
Ia mulai dari pergi belanja, meracik sendiri, mencuci, merebus, menggoreng, mengaduk, mengulek, menyedu…. Semakin banyak ragam makanan yang disediakan, makin panjang mata rantainya. Padahal yang disebut banyak dan panjang itu, di meja makan ketemunya pendek dan sedikit saja. Ia cuma bisa berupa nasi, sayur, gorengan dan sambal. Tapi betapa lama proses sebuah sambal. Di dalamnya ada cabe yang harus dipotong, diduduki dan di goreng, Ada bawang merah, tomat, terasi dan garam yang harus diramu dan diulek. Untuk mengubas bawah merah pun, seorang istri bisa harus bersimbah air mata. Dan itu baru cukup untuk menghasilkan sambal.
Belum untuk mengoreng lauk tambahan. Giorengan paling sederhana sekalipun, tempe misalnya. Di dalam tempat harus ada bawang putih, ketumbar dan garam yang perlu dihancurkan, dikucuri air dan baru kemudian si tempe dicelup untuk dilempar ke penggorengan. Itu baru tempe. Jika yang digoreng adalah ikan, maka prosedurnya bisa lebih panjang. Si ikan harus dibersihkan seluruh isi perutnya, dikerik sisiknya dan dipotong kalau kebesaran.
Padahal seluruh kesibukan itu baru menghasilkan dua golongan yang belum cukup untuk kelayakan jamuan makan karena baru ada tempe dan sambal. Untuk sayur, yang jenis sederhana, lodeh misalnya, bukan main rumit adonannya. Kelapa harus diparut, diperas santannya. Beragam sayuran harus dicuci, diiris dan diaduk-aduk. Bawang merah harus dikupas
dan digoreng, ada kencur, gula merah. Belum ada jenis keluarga yang menyukai watak penyedap rasa, tapi menolak penyedap rasa instan. Dibutuhkan ramuan alamiah yang rumit untuk menciptakan penyadap rasa jenis ini. Pendek kata, adonan sayur sederhana, membutuhkan kerepotan yang begitu gaduhnya.
Dan jika semuanya sudah siap, bukan berarti si ibu ini bisa langsung makan. Ia butuh meladeni seorang suami dan anak-anaknya lebih dulu. Jika si anak itu masih kecil dan kolokan, ia malah belum mau makan jika belum disuapi. Jadi, untuk sampai di meja makan, perjuangan seorang ibu ini panjang sekali. Lalu kenapa anak-anak, para suami, dan siapa saja dari kita, tidak mengucapkan rasa terimakasih kita secara terbuka kepadanya di saat makan bersama tiba?
Kenapa terhadap pekerjaan yang begitu besarnya, sering kita anggap sebagai soal yang biasa-bisa saja hanya karena ia ibu atau istri kita. Betapa banyak soal-soal berharga yang bertebaran di sekitar kita terlupakan harganya hanya gara-gara kita sudah terbiasa melihatnya. Itulah kenapa kita baru melihat mahalnya sebuah harga ketika ia telah tiada. Dan menganggap mahal segala sesuatu yang sudah tidak tidak ada, bukan cuma terlambat, tapi pasti perbuatan yang sia-sia.
*taken from Serambi
0 Comments:
Post a Comment
<< Home